20 March 2011 | 65 comments | Sibaho Way

Gambaru ala Indonesia

Gambaru... Gambaru... Gambaru ! Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan soal Gambaru. Ini tentu berkaitan dengan bencana gempa dan tsunami di Jepang beberapa waktu lalu. Gambaru sendiri adalah sebuah budaya Jepang yang ekstrimnya adalah berjuang habis-habisan hingga titik darah penghabisan. Jadi semuanya harus dicapai dengan ngotot dan ini sudah dididik dari mereka masih kecil. Pokoknya, untuk masa sekarang Gambaru adalah sesuatu yang patut (dan wajib) dicontoh.

Apakah Gambaru menjadi sesuatu yang mutlak harus kita tiru? Saya jadi teringat obrolan dengan CEO salah satu grup perusahaan saya bekerja. Menurut beliau, kita tidak bisa copy paste budaya jepang plek plek plek ke Indonesia. Dalam hal awareness mereka tentang safety, quality dan reduction cost kita memang harus tiru. Tapi dalam hal pengelolaan SDM mencontoh 100% dinilai kurang tepat.

Masuk akal menurut saya. Saya melihat, Indonesia memiliki keunikan sendiri dalam hal SDM. Budaya malu versi Jepang dengan budaya malu versi Indonesia sangat berbeda. Jepang, dengan mempertontonkan kesalahan lewat visualisasi membuat mereka malu, jera dan akan berbuat lebih baik lagi secara sungguh-sungguh. Hal yang sama dilakukan untuk bangsa kita, bisa berakibat kontra produktif. Kalaupun melakukan perbaikan karena terpaksa dan tidak sungguh-sungguh. Begitu pengawasan lemah, maka akan kembali seperti semula. Perlu usaha dan waktu yang lama.

Lantas, apakah Indonesia tidak mempunyai budaya Gambaru? Ada, tetapi dengan cara berbeda. Indonesia memiliki perasaan yang halus (dan mungkin bangsa Jepang bisa jadi iri dengan hal ini) sehingga penanganan dengan budaya disiplin ketat ala Jepang kadang tidak berhasil. Lihatlah mereka yang bekerja di perusahaan Jepang. Budaya itu hilang ketika mereka keluar dari lingkungan perusahaan. Hilang budaya antri, hilang taat pada rambu, hilang peduli akan keselamatan orang lain. Lihatlah tentara kita yang dididik dengan disiplin keras, apakah terbawa dalam kehidupan mereka sehari-hari? Ya, memang butuh waktu yang tidak sebentar.

Apakah ketika para pejuang dulu tidak ber-Gambaru saat mengusir penjajah dulu? Apakah Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Pattimura, Pak Sudirman dan Bung Tomo tidak ber-Gambaru pada zamannya? Mereka memiliki Gambaru yang mungkin malah di atas gambaran orang Jepang sendiri, karena apa ? Karena mereka masih menyelipkan perasaan dan cinta dalam perjuangan mereka. Ya, walau berjuang mati-matian, mereka masih memiliki perasaan yang halus.

Perasaan orang Indonesia sudah mengerti hanya dengan sindiran halus, Jepang tidak. Orang Indonesia sabar untuk mendidik orang yang melakukan kesalahan berkali-kali, Jepang tidak.
Untuk era industri dan informasi seperti saat ini sekilas budaya Gambaru ala Jepang memang terlihat lebih unggul. Tapi, apakah kondisi sekarang ini sudah benar dengan budaya menang sendiri, saling sikut, yang kuat yang bertahan yang lemah mati perlahan?

Sekali lagi, saya bukannya tidak setuju atau anti dengan Gambaru ala Jepang. Tetapi buat saya, budaya kita pun tidak kalah unggul asalkan diberi wadah yang tepat. Mengharapkan manusia untuk merubah lingkungan sangat butuh usaha yang keras dan berdarah-darah. Tetapi, dengan kita merubah lingkungan maka manusia Indonesia pun akan kembali ke akar budaya nenek moyang yang sudah baik. Bersihkan korupsi, perbaiki infrastruktur, utamakan kepentingan publik, berikan keadilan, insya Allah manusia Indonesia bisa mengalahkan budaya bangsa manapun. Terlihat sulit? Tidak ! Jangan menyerah, pasti bisa, Gambaru !!!

Related Post



65comments:

Post a Comment

Berkomentar yang wajar ya kawan :)

Supporting Websites