Kisah kelam dunia perburuhan Indonesia seperti tiada habisnya. Upah Minimum Propinsi/Regional yang dipatok berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak ('layak' adalah eufenisme dari 'minimum'), sistem kerja kontrak dan outsourcing yang membuat buruh tidak memiliki kejelasan masa depan, perlindungan hak-hak yang minim, kondisi tempat kerja yang tidak menjamin kesehatan dan keselamatan kerja hingga pelecehan secara mental oleh pekerja asing seperti yang baru terjadi di Batam kemarin.
Buruh, disadari atau tidak adalah produk yang sejak semula memang sudah dirancang untuk menjadi sapi perah kapitalis dan pemerintah. Konspirasi ini sudah tercium sejak kita duduk di bangku sekolah. Mengapa konspirasi?
Kita sudah dikondisikan untuk tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan membuat biaya pendidikan yang mahal. Sehingga dengan ijazah sekolah menengah pemerintah bisa berkoar-koar di luar sana bahwa investasi di Indonesia sangat menguntungkan dengan upah buruh yang rendah. Ini adalah bentuk eksploitasi sebelum kita menjadi buruh: direncanakan untuk dibayar murah !
Begitu masuk ke perusahaan dengan bayaran murah, masih ditambah lagi dengan teror yang tak kalah mengerikan: sistem kontrak atau pun outsourcing. Di sini nasib mereka bagai membalikkan telapak tangan. Kapan saja bisa menjadi pengangguran, sekarang bekerja bisa jadi besok dipecat tanpa kompensasi apa-apa.
Demikian pula dengan masalah kesehatan dan keselamatan kerja. Masih ingat ratusan karyawan yang ikut terbakar pada kebakaran perusahaan sandal di Jakarta beberapa waktu lalu? Pernah mendengar pelayanan kesehatan para pemegang kartu Jamsostek yang sering dianaktirikan di rumah sakit-rumah sakit? Padahal mereka bayar juga ! Banyak lagi deretan panjang yang jika dipaparkan satu per satu tentu akan semakin membuat hati kita perih.
Namun, pula harus disadari bahwa dunia usaha, pemerintah, buruh dan masyarakat juga adalah layaknya sebuah ekosistem yang mesti dijaga keseimbangannya. Bila terjadi eksploitasi tidak wajar pada salah satu dari komponen tersebut, bisa mengakibatkan kekacauan. Menaikkan kesejahteraan buruh dengan lebih baik tentu bisa saja dipaksakan dalam waktu yang singkat. Tetapi hal itu tentu akan menaikkan biaya yang dapat mengganggu kesetimbangan dunia usaha. Jika dunia usaha terusik, efeknya tentu ke pemerintah dan masyarakat yang ujung-ujungnya akan berimbas ke buruh itu sendiri. Siapa yang akan menanggung biaya tinggi tersebut? Tentu masyarakat. Inflasi akan meningkat tajam. Dampaknya, upah buruh yang dinaikkan dengan tinggi menjadi tidak memiliki arti apa-apa. Daya beli pun menurun, dunia usaha lesu, perusahaan hengkang ke luar negeri dan pengangguran akan terjadi dimana-mana.
Hal yang sama akan terjadi seandainya pemerintah pun menetapkan upah buruh yang rendah. Daya beli masyarakat akan menurun juga. Siapa yanag akan membeli motor, siapa yang akan membeli pakaian baru, siapa yang akan meminjam uang dari bank untuk membangun rumah, siapa yang akan menggunakan jasa angkutan kota dan ojek di kawasan-kawasan industri? Dan ini tentu sangat tidak diharapkan semua pihak.
Mencari titik setimbang yang ideal inilah yang belum bisa diukur secara kuantatif dan objektif. Selalu ada ketidakpuasan dari pihak-pihak tertentu, baik pngusaha maupun organisasi buruh. Masyarakat dan pemerintah tentu mengharapkan yang terbaik untuk kedua belah pihak.
Lalu buruh harus bagaimana? Dengan segala hormat, tanpa melupakan semua permasalahan di atas, mari kita bekerja dengan lebih baik. Mari kita tingkatkn skill dan kemampuan kita. Mari kita tingkatkan daya saing kita di dunia internasional. Stigma bahwa buruh Indonesia produktivitas-nya sangat rendah, ayo kita hapuskan. Percayalah, masih banyak pengusaha yang memiliki nurani tapi terjebak dalam situasi sulit. Ayo kita bantu mereka untuk menaikkan kesejahteraan kita.
Selamat berjuang Buruh Indonesia. Kalian telah menjadi bagian dari pembangunan bangsa Ini. Kalian telah taat menjadi pembayar pajak yang sebagian besar akan dinikmati oleh bangsat-bangsat koruptor tak beradab di atas sana !!
Viva Buruh Indonesia !
56comments:
hehehehe...
@bang noor
menerbitkan cerita bang pendi dalam bentuk buku sama dengan monetize blog juga lho bang.... :)
kayaknya iya, karena saya diawasi atasan...
daku sependapat sama yang pertamax
cuman gimana coba kalo fasilitas juga belum ada.
soalnya yang masih kuliah aja mau maen2 blog aja kadang masih susah *saat daku menjadi asisten dlu dan mengamati mahasiswa dan interaksinya dengan dunia maya..
nah, apalagi kalo buruh ..
sepertinya rada sulit juga,
fasilitas sangat kurang mendukung :D
Yang saya sedihkan, memang tmn2 saya kerjanya sanatai2. Tapi gak ada libur. Saya lebih kepingin kita kerja keras, tapi liburnya jelas. Curcol banget sih ya. Tapi kalo sedikiit saja kita lebih efektif dan produktip, pasti ada peluang kok untuk meningktakan kesejahteraan. Mungkin saya naif, tapi salah juga kalo kerja pikirannya buat kaya-raya punya rumah bertingkat dan lamborghini. Ya kalo buruh kaya saya mungkin 1 milyar tahun ke depan baru kesampean. Kalo mikir gini mana semangat kerjanya. Yang penting sih hidup sehat, cukup sandang pangan dan tidak kuatir makan/minum/atap/pendidikan/kesehatan buat keluarga. Trus jangan langsung kalo dapat gaji buat beli blekberi/sandal Crocs. Ditabung buat modal. Investasi. Macam nasehatnya Bang Adam Smith : kekayaan datang pada orang yang mampu mengolah sumber daya, bukan pada yang menghasilkan berjuta2...
kedepan
nasib buruh akan lebih terjamin ya
amien
:D
salam
:D
SOLIDARITY FOREVER
keep it..
Hehehehehehehhe
Salam kenal yach
thank info nya
terus semangat
hehe
Post a Comment
Berkomentar yang wajar ya kawan :)